Posted by : Unknown
Rabu, 04 November 2015
NAMA : RAFAEL TURE SIHOTANG
KELAS :X4
NO.ABSEN :28
SEJARAH
PERANG SALIB
Perang
Salib adalah gerakan
umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Yerusalem dan sekitarnya
secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk
merebut Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan gereja dan
kerajaan Latin di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang
ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan
panji-panji mereka.
Istilah ini
juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke-16
di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran; antara agama, ekonomi,
dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9
ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13.
“Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16 dan
berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan
selama masa Renaissance.
Perang Salib
pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah.
Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu
pengetahuan.
Perang Salib
berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang
mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk
internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik,
beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang
Salib Keempat)
bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota
Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di
benua Eropa saat itu. Perang
Salib Keenam adalah
perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang
memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib
dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan
Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun
mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti
persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang
Salib Kelima.
Situasi dan latar belakang
Situasi di Eropa
Asal mula ide
perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran
Byzantium di timur
yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran
Carolingian pada
akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slavia, dan Magyar, telah membuat kelas petarung
bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama
lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang
terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Usaha ini
dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu mencari
tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas daerah
kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya adalah saat terjadi
Reconquista di Spanyol dan Portugal, dimana pada saat itu ksatria-ksatria
dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat
di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang
dan menaklukan sebagian besar Semenanjung
Iberia dalam kurun
waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.
Pada tahun
1063, Paus
Alexander II
memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan
standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran
tersebut. Maka, permintaan yang datang dari Kekaisaran
Byzantium yang sedang
terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di
Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada Paus
Gregorius VII dan
sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius
I Comnenus kepada Paus Urbanus II.
Situasi Timur Tengah
Keberadaan
Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada
abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu memengaruhi penziarahan ke
tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat
Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas
dikuasainya Yerusalem–yang berada jauh di Timur–sampai
ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan
bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata
kaum Muslim Turki Saljuk yang berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada
kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks Timur.
Titik balik
lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada
tahun 1009, kalifah Bani
Fatimiyah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja
Makam Kudus (Church
of the Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium
untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk
berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi, banyak laporan yang beredar di Barat
tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang
didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting
dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.
Penyebab langsung
Penyebab
langsung dari Perang
Salib Pertama adalah
permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut.
Hal ini dilakukan karena sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah
dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan di Pertempuran
Manzikert, yang hanya
berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000 orang, terdiri
dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini berujung kepada
dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan
Timur-Barat sedang
berlangsung antara gereja Katolik
Barat dengan gereja Ortodoks Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas
permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit
bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi
yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk dapat merebut
Baitul
Maqdis pada tahun
1078 dari kekuasaan dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk
menguasai Baitul Maqdis.
Ketika Perang
Salib Pertama
didengungkan pada 27 November 1095, para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari
pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang
tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor Toledo kepada Kerajaan León pada tahun 1085 adalah kemenangan
yang besar. Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang
penting dan kaum Kristen yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang
amat sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur.
Mereka tidak memiliki taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para
ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan asing yang
dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka dapat berbuat dan merusak
sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di
lapangan pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari karakter Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang
tertinggi adalah mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu
Negara.
Perang
Perang Salib I
Pada musim
semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada
tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldwin sebagai raja. Pada tahun yang sama
mereka dapat menguasai Antiokhia dan mendirikan Kepangeranan
Antiokhia di Timur,
Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis (Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M dan
mendirikan Kerajaan
Yerusalem dengan
rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan
ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, rajanya adalah Raymond.
Selanjutnya,
Syeikh Imaduddin
Zengi pada tahun 1144
M, penguasa Mosul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M.
Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zengi. Syeikh Nuruddin berhasil merebut
kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151
M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Perang Salib II
Kejatuhan
County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang
disambut positif oleh raja Perancis Louis
VII dan raja Jerman Conrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zengi.
Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Conrad II sendiri
melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M.
Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin
al-Ayyubi yang
berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai
Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa
bulan sebelumnya dalam Pertempuran
Hittin, Shalahuddin
berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem
melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di
Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem,
tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan
Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang
dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan
menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.
Perang Salib III
Jatuhnya
Yerussalem ke tangan kaum Muslim sangat memukul perasaan Tentara
Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin
oleh Frederick
Barbarossa raja Jerman, Richard
si Hati Singa raja Inggris, dan Philip
Augustus raja Perancis memunculkan Perang Salib III.[18] Pasukan ini bergerak pada tahun 1189
M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan
pasukan Barbarossa - saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa - melalui jalur
darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga
menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip
sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin,
namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik
ke Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan
hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu
memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali
mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian
antara Tentara Salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah.
Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah
ke Baitul
Maqdis tidak akan
diganggu.
Perang
Salib IV
Pada tahun
1219 M, meletus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode
keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederik II,
mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari
orang-orang Kristen Koptik.
Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyath, raja Mesir dari Dinasti
Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain
Frederick bersedia melepaskan Dimyath, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan
Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim
bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh
kaum muslimin tahun 1247 M, pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya.
Ketika Mesir
dikuasai oleh Dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Dinasti
Ayyubiyyah, pimpinan
perang dipegang oleh Baibars, Qalawun, dan
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah. Pada masa
merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum Muslim tahun 1291
M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti
di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Kondisi sesudah Perang Salib
Perang
Salib Pertama
melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan
dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara
Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap
pemeluk Kristen
Ortodoks Timur. Kekerasan terhadap Kristen Ortodoks ini berpuncak pada penjarahan kota
Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh
kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-serangan terhadap
orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi
dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan
perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa
yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu.
Pada abad
ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di
masyarakat. Sesudah kota Akka jatuh untuk terakhir kalinya pada
tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa Ositania (Perancis Selatan) yang berpaham Katarisme pada Perang
Salib Albigensian,
ide perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran
lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa.
Orde Ksatria
Salib mempertahankan wilayah adalah orde Ksatria
Hospitaller. Sesudah
kejatuhan Akka yang terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon
Bonaparte pada tahun
1798.
Peninggalan
Benua Eropa
Perang Salib
selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di Eropa bagian Barat dimana pada masa
Perang Salib merupakan negara-negara Katolik Roma. Perang Salib juga
menimbulkan kenangan pahit. Banyak pula kritikan pedas terhadap Perang Salib di
negara-negara Eropa Barat pada masa Renaissance.
Politik
dan Budaya
Perang Salib
amat memengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan.[23] Pada masa itu, sebagian besar benua
dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada abad ke-14,
perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi
gereja pada masa awal perang salib.
Meski benua
Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui hubungan
antara Semenanjung
Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di
bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke
dunia Barat selama masa perang salib.
Pengalaman
militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya,
kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan
besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti
sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya
Eropa ke dunia, terutama Asia.
Bersama
perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai
timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di
universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance
pada abad-abad berikutnya.
Perdagangan
Kebutuhan
untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang besar menumbuhkan
perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah
digunakan sejak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan
disebabkan oleh para pedagang yang berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan
saja karena Perang Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi
lebih karena banyak orang ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan
produk-produk dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance
di Itali, karena banyak negara-kota di Itali yang sejak awal memiliki hubungan perdagangan yang penting dan
menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah
bekas Byzantium.
Pertumbuhan
perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan
sangat mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macam rempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal
dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman
Asia lainnya dan banyak lagi.
Keberhasilan
untuk melestarikan Katolik Eropa, bagaimanapun, tidak dapat
mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium, yang sebagian besar
diakibatkan oleh kekerasan tentara Salib pada Perang
Salib Keempat
terhadap Kristen Orthodox Timur, terutama pembersihan yang dilakukan oleh Enrico Dandolo yang terkenal, penguasa Venesia dan sponsor Perang
Salib Keempat. Tanah
Byzantium adalah negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4. Sesudah tentara
Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204, Byzantium tidak pernah
lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan akhirnya jatuh pada tahun 1453.
Melihat apa
yang terjadi terhadap Byzantium, Perang Salib lebih dapat digambarkan sebagai
perlawanan Katolik
Roma terhadap
ekspansi Islam, ketimbang perlawanan Kristen secara utuh terhadap ekspansi
Islam. Di lain pihak, Perang Salib Keempat dapat disebut sebuah anomali. Kita
juga dapat mengambil suatu kompromi atas kedua pendapat di atas, khususnya
bahwa Perang Salib adalah cara Katolik Roma utama dalam menyelamatkan
Katolikisme, yaitu tujuan yang utama adalah memerangi Islam dan tujuan yang
kedua adalah mencoba menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks inilah, Perang
Salib Keempat dapat dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua untuk memperoleh
bantuan logistik bagi Dandolo untuk mencapai tujuan yang utama. Meski begitu,
Perang Salib Keempat ditentang oleh Paus pada saat itu dan secara umum dikenang
sebagai suatu kesalahan besar.
Dunia Islam
Perang salib
memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir pada dunia Islam. Dimana persamaan
antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib” meninggalkan
bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad ke-21, sebagian dunia Arab,
seperti gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan Pan-Islamisme masih terus menyebut keterlibatan
dunia Barat di Timur
Tengah sebagai
“perang salib”. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang
kejam dan keji oleh kaum Kristen Eropa.
Konsekuensi
yang secara jangka panjang menghancurkan tentang perang salib, menurut ahli
sejarah Peter
Mansfield, adalah
pembentukan mental dunia Islam yang cenderung menarik diri. Menurut Peter Mansfield, “Diserang dari berbagai arah, dunia
Islam berpaling ke dirinya sendiri. Ia menjadi sangat sensitive dan
defensive……sikap yang tumbuh menjadi semakin buruk seiring dengan perkembangan
dunia, suatu proses dimana dunia Islam merasa dikucilkan, terus berlanjut.”
Komunitas Yahudi
Ilustrasi
dalam Injil Perancis dari tahun 1250 yang menggambarkan pembantaian orang
Yahudi (dikenali dari topinya yakni Judenhut) oleh
tentara Salib
Terjadi
kekerasan tentara Salib terhadap bangsa Yahudi di kota-kota di Jerman dan Hongaria, belakangan juga terjadi di Perancis dan Inggris, dan pembantaian Yahudi di Palestina dan Syria menjadi bagian yang penting dalam sejarah Anti-Semit, meski tidak ada satu perang salib
pun yang pernah dikumandangkan melawan Yahudi. Serangan-serangan ini
meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan yang buruk pada kedua belah pihak
selama berabad-abad. Kebencian kepada bangsa Yahudi meningkat. Posisi sosial
bangsa Yahudi di Eropa Barat semakin merosot dan pembatasan meningkat selama
dan sesudah Perang Salib. Hal ini memuluskan jalan bagi legalisasi Anti-Yahudi oleh Paus
Innocentius III dan
membentuk titik balik bagi Anti-Semit abad pertengahan.
Periode
perang salib diungkapkan dalam banyak narasi Yahudi. Di antara narasi-narasi
itu, yang terkenal adalah catatan-catatan Solomon bar Simson dan Rabbi Eliezer
bar Nathan, “The Narrative of The Old Persecution” yang ditulis oleh Mainz
Anonymus dan “Sefer Zekhirah” dan “The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain
dari Bonn.
Pegunungan Kaukasus
Orang Armenia
merupakan pendukung setia Tentara Salib.[29] Di Pegunungan
Kaukasus di Georgia, di dataran tinggi Khevsureti yang terpencil, ada sebuah suku yang disebut Khevsurs yang
dianggap merupakan keturunan langsung dari sebuah kelompok tentara salib yang
terpisah dari induk pasukannya dan tetap dalam keadaan terisolasi dengan
sebagian budaya perang salib yang masih utuh. Memasuki abad ke-20, peninggalan
dari baju perang, persenjataan dan baju rantai masih digunakan dan terus
diturunkan dalam komunitas tersebut. Ahli ethnografi Rusia, Arnold Zisserman, yang menghabiskan 25 tahun (1842 – 1862) di pegunungan
Kaukasus, percaya bahwa kelompok dari dataran tinggi Georgia ini adalah
keturunan dari tentara Salib yang terakhir berdasarkan dari kebiasaan, bahasa,
kesenian dan bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika Richard Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku ini pada tahun 1935.